Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.
Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini.
Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi
Hadits Mutawatir
Hadits Ahad
Hadits Shahih
Hadits Hasan
Hadits Dha'if
Menurut Macam Periwayatannya
Hadits yang bersambung sanadnya (hadits Marfu' atau Maushul)
Hadits yang terputus sanadnya
Hadits Mu'allaq
Hadits Mursal
Hadits Mudallas
Hadits Munqathi
Hadits Mu'dhol
Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi
Hadits Maudhu'
Hadits Matruk
Hadits Mungkar
Hadits Mu'allal
Hadits Mudhthorib
Hadits Maqlub
Hadits Munqalib
Hadits Mudraj
Hadits Syadz
Beberapa pengertian dalam ilmu hadits
Beberapa kitab hadits yang masyhur / populer
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir:
Isi hadits itu harus hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera.
Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang menurut ada kebiasaan, tidak mungkin berdusta. Sifatnya Qath'iy.
Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang
sama.
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah "zhonniy". Sebelumnya para ulama membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha'if. Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu:
Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu'allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur'an.
Harus bersambung sanadnya
Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.
Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)
Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)
Tidak cacat walaupun tersembunyi.
Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz.
Ialah hadits yang tidak bersambung
sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz
dan cacat.
Hadits ini adalah hadits yang
bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW.
Hadits ini disebut hadits Marfu' atau Maushul.
Hadits ini disebut juga hadits yang tergantung, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha'if.
Disebut juga hadits yang dikirim yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'in dari Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan sahabat tempat menerima hadits itu.
Disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain sahabat dan tabi'in.
Disebut juga hadits yang terputus
sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'it dan tabi'in dari
Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan tabi'in yang menjadi
sanadnya. Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di
atas adalah termasuk hadits-hadits dha'if.
Yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta atau dituduh dusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits.
Yang berarti hadits yang ditinggalkan, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta.
Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya / jujur.
Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma'lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu'tal (hadits sakit atau cacat).
Artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan.
Artinya hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).
Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya.
Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
perawi yang tsiqah (terpercaya) yang bertentangan dengan hadits
lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi
(periwayat / pembawa) yang terpercaya pula. Demikian
menurut sebagian ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama
hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama
hadits disebut juga hadits Mahfudz.
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari - Muslim.
As Sab'ah berarti tujuh perawi, yaitu:
Imam Ahmad
Imam Bukhari
Imam Muslim
Imam Abu Daud
Imam Tirmidzi
Imam Nasa'i
Imam Ibnu Majah
Yaitu enam perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal.
Yaitu lima perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Yaitu empat perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Yaitu tiga perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.
Yaitu orang yang meriwayatkan hadits.
Sanad berarti sandaran yaitu jalan matan dari Nabi Muhammad SAW sampai kepada orang yang mengeluarkan (mukhrij) hadits itu atau mudawwin (orang yang menghimpun atau membukukan) hadits. Sanad biasa disebut juga dengan Isnad berarti penyandaran. Pada dasarnya orang atau ulama yang menjadi sanad hadits itu adalah perawi juga.
Matan ialah isi hadits baik berupa sabda Nabi Muhammad
SAW, maupun berupa perbuatan Nabi Muhammad SAW yang diceritakan oleh sahabat
atau berupa taqrirnya.
Shahih Bukhari
Shahih Muslim
Riyadhus Shalihin
Sanad atau isnad secara bahasa artinya sandaran, maksudnya
adalah jalan yang bersambung sampai kepada matan, rawi-rawi yang meriwayatkan
matan hadits dan menyampaikannya. Sanad dimulai dari rawi yang awal (sebelum
pencatat hadits) dan berakhir pada orang sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam yakni Sahabat. Misalnya al-Bukhari meriwayatkan satu hadits, maka
al-Bukhari dikatakan mukharrij atau mudawwin (yang mengeluarkan hadits atau yang
mencatat hadits), rawi yang sebelum al-Bukhari dikatakan awal sanad sedangkan
Shahabat yang meriwayatkan hadits itu dikatakan akhir sanad.
Matan secara bahasa artinya kuat, kokoh, keras, maksudnya adalah isi, ucapan
atau lafazh-lafazh hadits yang terletak sesudah rawi dari sanad yang akhir.
Para ulama hadits tidak mau menerima hadits yang datang kepada mereka melainkan
jika mempunyai sanad, mereka melakukan demikian sejak tersebarnya dusta atas
nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipelopori oleh orang-orang Syi’ah.
Seorang Tabi’in yang bernama Muhammad bin Sirin (wafat tahun 110 H) rahimahullah
berkata, “Mereka (yakni para ulama hadits) tadinya tidak menanyakan tentang
sanad, tetapi tatkala terjadi fitnah, mereka berkata, ‘Sebutkan kepada kami nama
rawi-rawimu, bila dilihat yang menyampaikannya Ahlus Sunnah, maka haditsnya
diterima, tetapi bila yang menyampaikannya ahlul bid’ah, maka haditsnya
ditolak.’”[1]
Kemudian, semenjak itu para ulama meneliti setiap sanad yang sampai kepada
mereka dan bila syarat-syarat hadits shahih dan hasan terpenuhi, maka mereka
menerima hadits tersebut sebagai hujjah, dan bila syarat-syarat tersebut tidak
terpenuhi, maka mereka menolaknya.
Abdullah bin al-Mubarak (wafat th. 181 H) rahimahullah berkata: “Sanad itu
termasuk dari agama, kalau seandainya tidak ada sanad, maka orang akan berkata
sekehendaknya apa yang ia inginkan"[2]
Para ulama hadits telah menetapkan kaidah-kaidah dan pokok-pokok pembahasan bagi
tiap-tiap sanad dan matan, apakah hadits tersebut dapat diterima atau tidak.
Ilmu yang membahas tentang masalah ini ialah ilmu Mushthalah Hadits.
PEMBAGIAN AS-SUNNAH MENURUT SAMPAINYA KEPADA KITA
As-Sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita
dilihat dari segi sampainya dibagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Hadits
mutawatir ialah berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
disampaikan secara bersamaan oleh orang-orang kepercayaan dengan cara yang
mustahil mereka bisa bersepakat untuk berdusta.
Hadits mutawatir mempunyai empat syarat yaitu:
[1]. Rawi-rawinya tsiqat dan mengerti terhadap apa yang dikabarkan dan
(menyampaikannya) dengan kalimat pasti.
[2]. Sandaran penyampaian kepada sesuatu yang konkret, seperti penyaksian atau
mendengar langsung, seperti:
"sami'tu" = aku mendengar
"sami'na" = kami mendengar
"roaitu" = aku melihat
"roainaa" = kami melihat
[3]. Bilangan (jumlah) mereka banyak, mustahil menurut adat mereka berdusta.
[4]. Bilangan yang banyak ini tetap demikian dari mulai awal sanad, pertengahan
sampai akhir sanad, rawi yang meriwayatkannya minimal 10 orang.[3]
Hadits ahad ialah hadits yang derajatnya tidak sampai ke derajat mutawatir.
Hadits-hadits ahad terbagi menjadi tiga macam.
[a]. Hadits masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 3 sanad.
[b]. Hadits ‘aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 2 sanad.
[c]. Hadits gharib, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan 1 sanad.[4]
[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Bab I : As-Sunnah Dan Definisinya, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
Catatan Kaki:
[1] Muqaddimah Shahih Muslim.
[2] Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi (1/87).
[3] Taisir Musthalaahil Hadiits, Dr. Mahmud Thah-han (hal. 19-20).
[4] Lihat rinciannya dalam kitab Taisir Musthalaahil Hadiits, Dr. Mahmud Thah-han (hal. 22-31).
Definisi Musthola'ah Hadits
HADITS ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, pernyataan, taqrir, dan sebagainya.
ATSAR ialah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat Nabi Muhammad SAW.
TAQRIR ialah keadaan Nabi Muhammad SAW yang mendiamkan, tidak mengadakan
sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para
sahabat di hadapan beliau.
SAHABAT ialah orang yang bertemu Rosulullah SAW dengan pertemuan yang wajar
sewaktu beliau masih hidup, dalam keadaan islam lagi beriman dan mati dalam
keadaan islam.
TABI'IN ialah orang yang menjumpai sahabat, baik perjumpaan itu lama atau
sebentar, dan dalam keadaan beriman dan islam, dan mati dalam keadaan islam.
MATAN ialah lafadz hadits yang diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW, atau disebut
juga isi hadits.
Unsur-Unsur Yang Harus Ada Dalam Menerima Hadits
Rawi, yaitu orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits dalam suatu
kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang atau gurunya.
Perbuatannya menyampaikan hadits tersebut dinamakan merawi atau meriwayatkan
hadits dan orangnya disebut perawi hadits.
Sistem Penyusun Hadits Dalam Menyebutkan Nama Rawi
As Sab'ah berarti diriwayatkan oleh
tujuh perawi, yaitu :
1. Ahmad
2. Bukhari
3. Turmudzi
4. Nasa'i
5. Muslim
6. Abu Dawud
7. Ibnu Majah
As Sittah berarti diriwayatkan oleh enam perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Ahmad
Al Khomsah berarti diriwayatkan oleh lima perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Bukhari dan Muslim
Al Arba'ah berarti diriwayatkan oleh empat perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'a) selain Ahmad, Bukhari dan Muslim.
Ats Tsalasah berarti diriwayatkan oleh tiga perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Ahmad, Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah.
Asy Syaikhon berarti diriwayatkan oleh dua orang perawi yaitu : Bukhari dan Muslim
Al Jama'ah berarti diriwayatkan oleh para perawi yang banyak sekali jumlahnya (lebih dari tujuh perawi / As Sab'ah).
Matnu'l
Hadits
adalah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang berakhir pada sanad yang
terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam, sahabat ataupun tabi'in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan
Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi Muhammad
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam .
Sanad atau Thariq adalah jalan yang dapat menghubungkan matnu'l
hadits kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
.
Gambaran Sanad
Untuk memahami pengertian sanad, dapat digambarkan sebagai berikut:
Sabda Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam didengar oleh
sahabat (seorang atau lebih). Sahabat ini (seorang atau lebih) menyampaikan kepada
tabi'in (seorang atau lebih), kemudian tabi'in menyampaikan pula kepada
orang-orang dibawah generasi mereka. Demikian seterusnya hingga dicatat oleh
imam-imam ahli hadits seperti Muslim, Bukhari, Abu Dawud, dll.
Contoh:
Waktu meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, Bukhari
berkata hadits ini diucapkan kepada saya oleh A, dan A berkata diucapkan kepada
saya oleh B, dan B berkata diucapkan kepada saya oleh C, dan C berkata diucapkan
kepada saya oleh D, dan D berkata diucapkan kepada saya oleh Nabi Muhammad.
Awal Sanad dan akhir Sanad
Menurut istilah ahli hadits, sanad itu ada permulaannya (awal) dan ada
kesudahannya (akhir). Seperti contoh diatas yang disebut awal sanad adalah A dan
akhir sanad adalah D.
Klasifikasi Hadits
Klasifikasi hadits menurut dapat (diterima) atau ditolaknya hadits sebagai hujjah (dasar hukum) adalah:
Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohihan suatu hadits.
Hadits Makbul adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk hadits makbul adalah Hadits Shohih dan Hadits Hasan.
Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang Makbul, biasanya dibuat hujjah buat sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau terlalu penting.
Hadits Dhoif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari
syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits Dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama
lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan
yang tidak dipenuhinya.
Syarat-syarat Hadits Shohih
Suatu hadits dapat dinilai shohih apabila telah memenuhi 5 Syarat :
Rawinya bersifat Adil
Sempurna ingatan
Sanadnya tidak terputus
Hadits itu tidak berillat dan
Hadits itu tidak janggal
Arti Adil dalam periwayatan, seorang rawi harus memenuhi 4 syarat untuk dinilai adil, yaitu :
Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat.
Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan.
Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan dasar Syara'.
Klasifikasi Hadits Dhoif berdasarkan kecacatan perawinya
Hadits Maudhu': adalah hadits yang diciptakan oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka katakan bahwa itu adalah sabda Nabi SAW, baik hal itu disengaja maupun tidak.
Hadits Matruk: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang dituduh dusta dalam perhaditsan.
Hadits Munkar: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya atau jelas kefasiqkannya yang bukan karena dusta. Di dalam satu jurusan jika ada hadits yang diriwayatkan oleh dua hadits lemah yang berlawanan, misal yang satu lemah sanadnya, sedang yang satunya lagi lebih lemah sanadnya, maka yang lemah sanadnya dinamakan hadits Ma'ruf dan yang lebih lemah dinamakan hadits Munkar.
Hadits Mu'allal (Ma'lul, Mu'all): adalah hadits yang tampaknya baik, namun setelah diadakan suatu penelitian dan penyelidikan ternyata ada cacatnya. Hal ini terjadi karena salah sangka dari rawinya dengan menganggap bahwa sanadnya bersambung, padahal tidak. Hal ini hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang ahli hadits.
Hadits Mudraj (saduran): adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits.
Hadits Maqlub: adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain), disebabkan mendahului atau mengakhirkan.
Hadits Mudltharrib: adalah hadits yang menyalahi dengan hadits lain terjadi dengan pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan (dikumpulkan).
Hadits Muharraf: adalah hadits yang menyalahi hadits lain terjadi disebabkan karena perubahan Syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
Hadits Mushahhaf: adalah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah.
Hadits Mubham: adalah hadits yang didalam matan atau sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan.
Hadits Syadz (kejanggalan): adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang makbul (tsiqah) menyalahi riwayat yang lebih rajih, lantaran mempunyai kelebihan kedlabithan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi pentarjihan.
Hadits Mukhtalith: adalah hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya.
Klasifikasi hadits Dhoif berdasarkan gugurnya rawi
Hadits Muallaq: adalah hadits yang gugur (inqitha') rawinya seorang atau lebih dari awal sanad.
Hadits Mursal: adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi'in.
Hadits Mudallas: adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut Mudallis.
Hadits Munqathi': adalah hadits yang gugur rawinya sebelum sahabat, disatu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
Hadits Mu'dlal: adalah hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih berturut turut, baik sahabat bersama tabi'in, tabi'in bersama tabi'it tabi'in, maupun dua orang sebelum sahabat dan tabi'in.
Klasifikasi hadits Dhoif berdasarkan sifat matannya
Hadits Mauquf: adalah hadits yang hanya disandarkan kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung atau terputus.
Hadits Maqthu': adalah perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi'in serta di mauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung atau tidak.
Apakah Boleh Berhujjah dengan hadits Dhoif ?
Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhoif yang maudhu' tanpa menyebutkan kemaudhu'annya. Adapun kalau hadits dhoif itu bukan hadits maudhu' maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah. Berikut ini pendapat yang ada yaitu:
Pendapat Pertama Melarang secara mutlak
meriwayatkan segala macam hadits dhoif, baik untuk menetapkan hukum, maupun
untuk memberi sugesti amalan utama. Pendapat ini dipertahankan oleh Abu Bakar
Ibnul 'Araby.
Pendapat Kedua Membolehkan, kendatipun dengan
melepas sanadnya dan tanpa menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi
sugesti, menerangkan keutamaan amal (fadla'ilul a'mal dan cerita-cerita, bukan
untuk menetapkan hukum-hukum syariat, seperti halal dan haram, dan bukan untuk
menetapkan aqidah-aqidah).
Para imam seperti Ahmad bin hambal, Abdullah bin al Mubarak
berkata: "Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram dan hukum-hukum,
kami perkeras sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami
meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa kami permudah dan kami perlunak
rawi-rawinya."
Karena itu, Ibnu Hajar Al Asqalany termasuk ahli hadits yang membolehkan
berhujjah dengan hadits dhoif untuk fadla'ilul amal. Ia memberikan 3 syarat
dalam hal meriwayatkan hadits dhoif, yaitu:
Hadits dhoif itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu, untuk hadits-hadits dhoif yang disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta, dan banyak salah, tidak dapat dibuat hujjah kendatipun untuk fadla'ilul amal.
Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dhoif tersebut, masih dibawah satu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih dan hasan)
Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan atau menekankan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber kepada nabi, tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata mata untuk ikhtiyath (hati-hati) belaka.
Klasifikasi hadits dari segi sedikit atau banyaknya rawi :
[1] Hadits Mutawatir: adalah suatu hadits hasil tanggapan dari
panca indra, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat
kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.
Syarat syarat hadits mutawatir
Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indra. Yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar benar hasil pendengaran atau penglihatan mereka sendiri.
Jumlah rawi-rawinya harus mencapai satu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong/dusta.
Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Kalau suatu hadits diriwayatkan oleh 5 sahabat maka harus pula diriwayatkan oleh 5 tabi'in demikian seterusnya, bila tidak maka tidak bisa dinamakan hadits mutawatir.
[2] Hadits Ahad:
adalah hadits yang tidak memenuhi syarat syarat hadits mutawatir.
Klasifikasi hadits Ahad
Hadits Masyhur: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang rawi atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.
Hadits Aziz: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 2 orang rawi, walaupun 2 orang rawi tersebut pada satu thabaqah (lapisan) saja, kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
Hadits Gharib: adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Hadits Qudsi atau Hadits Rabbani atau Hadits Ilahi
Adalah sesuatu yang dikabarkan oleh Allah kepada nabiNya dengan melalui ilham
atau impian, yang kemudian nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian
tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri.
Perbedaan Hadits Qudsi dengan hadits Nabawi
Pada hadits qudsi biasanya diberi ciri ciri dengan dibubuhi kalimat-kalimat :
Qala ( yaqalu ) Allahu
Fima yarwihi 'anillahi Tabaraka wa Ta'ala
Lafadz lafadz lain yang semakna dengan apa yang tersebut diatas.
Perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Qur'an:
Semua lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah mukjizat dan mutawatir, sedang hadits qudsi tidak demikian.
Ketentuan hukum yang berlaku bagi Al-Qur'an, tidak berlaku pada hadits qudsi. Seperti larangan menyentuh, membaca pada orang yang berhadats, dll.
Setiap huruf yang dibaca dari Al-Qur'an memberikan hak pahala kepada pembacanya.
Meriwayatkan Al-Qur'an tidak boleh dengan maknanya saja atau mengganti lafadz sinonimnya, sedang hadits qudsi tidak demikian.
Bid'ah
Yang
dimaksud dengan bid'ah ialah sesuatu bentuk ibadah yang dikategorikan dalam menyembah
Allah yang Allah sendiri tidak memerintahkannya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam tidak menyontohkannya, serta para sahabat-sahabat Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak menyontohkannya.
Kewajiban sebagai seorang muslim adalah mengingatkan amar ma'ruf nahi
munkar kepada saudara-saudara seiman yang masih sering mengamalkan
amalan-amalan ataupun cara-cara bid'ah.
Alloh berfirman, dalam QS Al-Maidah ayat 3, "Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu." Jadi tidak ada satu halpun yang luput dari penyampaian risalah
oleh Nabi. Sehingga jika terdapat hal-hal baru yang berhubungan dengan ibadah,
maka itu adalah bid'ah.
"Kulu bid'ah dholalah..." semua bid'ah adalah sesat (dalam masalah
ibadah). "Wa dholalatin fin Naar..." dan setiap kesesatan itu adanya
dalam neraka.
Beberapa hal seperti speaker, naik pesawat, naik mobil, pakai pasta
gigi, tidak dapat dikategorikan sebagai bid'ah.
Semua hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk ibadah yang menyembah Allah. Ada
tata cara dalam beribadah yang wajib dipenuhi, misalnya dalam hal sembahyang ada ruku,
sujud, pembacaan al-Fatihah, tahiyat, dst. Ini semua adalah wajib dan siapa pun yang menciptakan
cara baru dalam sembahyang, maka itu adalah bid'ah. Ada tata cara dalam ibadah yang
dapat kita
ambil hikmahnya. Seperti pada zaman Rasul Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
menggunakan siwak, maka sekarang menggunakan sikat gigi dan pasta gigi, terkecuali beberapa
muslim di Arab, India, dst.
Menemukan hal baru dalam ilmu pengetahuan bukanlah bid'ah, bahkan dapat menjadi
ladang amal bagi umat muslim. Banyak muncul hadits-hadits yang bermuara
(matannya) kepada hal bid'ah. Dan ini sangat sulit sekali untuk diingatkan
kepada para pengamal bid'ah.
Apakah yang menyebabkan timbulnya Hadits-Hadits Palsu?
Didalam Kitab Khulaashah Ilmil Hadits dijelaskan bahwa kabar yang datang pada Hadits ada tiga macam:
Yang wajib dibenarkan (diterima).
Yang wajib ditolak (didustakan, tidak boleh diterima) yaitu Hadits yang diadakan orang mengatasnamakan Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Yang wajib ditangguhkan (tidak boleh diamalkan) dulu sampai jelas penelitian tentang kebenarannya, karena ada dua kemungkinan. Boleh jadi itu adalah ucapan Nabi dan boleh jadi pula itu bukan ucapan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (dipalsukan atas nama Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).
Untuk mengetahui apakah Hadits itu palsu atau tidak, ada beberapa cara, diantaranya:
Atas pengakuan orang yang memalsukannya. Misalnya Imam Bukhari pernah meriwayatkan dalam Kitab Taarikhut Ausath dari 'Umar bin Shub-bin bin 'Imran At-Tamiimy sesungguhnya dia pernah berkata, artinya: Aku pernah palsukan khutbah Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Maisaroh bin Abdir Rabbik Al-Farisy pernah mengakui bahwa dia sendiri telah memalsukan Hadits hadits yang berhubung-an dengan Fadhilah Qur'an (Keutamaan Al-Qur'an) lebih dari 70 hadits, yang sekarang banyak diamalkan oleh ahli-ahli Bid'ah. Menurut pengakuan Abu 'Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa dia pernah memalsukan dari Ibnu Abbas beberapa Hadits yang hubungannya dengan Fadhilah Qur'an satu Surah demi Surah. (Kitab Al-Baa'itsul Hatsiits).
Dengan memperhatikan dan mempelajari tanda-tanda/qorinah yang lain yang dapat menunjukkan bahwa Hadits itu adalah Palsu. Misalnya dengan melihat dan memperhatikan keadaan dan sifat perawi yang meriwayatkan Hadits itu.
Terdapat ketidaksesuaian makna dari matan (isi cerita) hadits tersebut dengan Al-Qur'an. Hadits tidak pernah bertentangan dengan apa yang ada dalam ayat-ayat Qur'an.
Terdapat kekacauan atau terasa
berat didalam susunannya, baik lafadznya ataupun ditinjau dari susunan bahasa dan
Nahwunya (grammarnya).
Sebab-sebab terjadi atas timbulnya Hadits-hadits Palsu
Adanya kesengajaan dari pihak lain untuk merusak ajaran Islam. Misalnya dari kaum Orientalis Barat yang sengaja mempelajari Islam untuk tujuan menghancurkan Islam (seperti Snouck Hurgronje).
Untuk menguatkan pendirian atau madzhab suatu golongan tertentu. Umumnya dari golongan Syi'ah, golongan Tareqat, golongan Sufi, para Ahli Bid'ah, orang-orang Zindiq, orang yang menamakan diri mereka Zuhud, golongan Karaamiyah, para Ahli Cerita, dan lain-lain. Semua yang tersebut ini membolehkan untuk meriwayatkan atau mengadakan Hadits-hadits Palsu yang ada hubungannya dengan semua amalan-amalan yang mereka kerjakan. Yang disebut 'Targhiib' atau sebagai suatu ancaman yang yang terkenal dengan nama 'At-Tarhiib'.
Untuk mendekatkan diri kepada Sultan, Raja, Penguasa, Presiden, dan lain-lainnya dengan tujuan mencari kedudukan.
Untuk mencari penghidupan dunia (menjadi mata pencaharian dengan menjual hadits-hadits Palsu).
Untuk menarik perhatian orang sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ahli dongeng dan tukang cerita, juru khutbah, dan lain-lainnya.
Hukum meriwayatkan Hadits-hadits Palsu
Secara Muthlaq, meriwayatkan hadits-hadits palsu itu hukumnya haram bagi mereka yang sudah jelas mengetahui bahwa hadits itu palsu.
Bagi mereka yang meriwayatkan dengan tujuan memberi tahu kepada orang bahwa hadits ini adalah palsu (menerangkan kepada mereka sesudah meriwayatkan atau mebacakannya) maka tidak ada dosa atasnya.
Mereka yang tidak tahu sama sekali kemudian meriwayatkannya atau mereka mengamalkan makna hadits tersebut karena tidak tahu, maka tidak ada dosa atasnya. Akan tetapi sesudah mendapatkan penjelasan bahwa riwayat atau hadits yang dia ceritakan atau amalkan itu adalah hadits palsu, maka hendaklah segera dia tinggalkannya, kalau tetap dia amalkan sedang dari jalan atau sanad lain tidak ada sama sekali, maka hukumnya tidak boleh (berdosa - dari Kitab Minhatul Mughiits).
(Sumber Rujukan: Kitab Hadits Dhaif dan Maudhlu - Muhammad Nashruddin Al-Albany; Kitab Hadits Maudhlu - Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah; Kitab Mengenal Hadits Maudhlu - Muhammad bin Ali Asy-Syaukaaniy; Kitab Kalimat-kalimat Thoyiib - Ibnu Taimiyah (tahqiq oleh Muhammad Nashruddin Al-Albany); Kitab Mushtholahul Hadits - A. Hassan)
Sumber: http://mediaislam.fisikateknik.org
.:: Juz 'Amma ::.